Beranda | Artikel
Fikih Khotbah Jumat (Bag. 2)
Kamis, 12 Juni 2025

Setelah memahami waktu, syarat, dan rukun khotbah Jumat pada pembahasan sebelumnya, masih ada sejumlah permasalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat. Sebagian berkaitan dengan penggunaan bahasa non-Arab dalam khotbah, sebagian lain terkait keabsahan salat Jumat bagi yang terlambat, serta berbagai adab dan penyimpangan yang perlu diperhatikan.

Dalam bagian kedua ini, kita akan membahas beberapa pertanyaan penting seputar khotbah Jumat, seperti apakah boleh khotbah dengan bahasa Indonesia? Bagaimana jika jemaah tertinggal khotbah? Apakah khatib harus menjadi imam? Termasuk pula pembahasan tentang bidah yang marak terjadi serta adab saat mendengarkan khotbah Jumat.

Hukum khotbah Jumat dengan Bahasa Indonesia

Salah satu permasalahan yang sering ditanyakan di berbagai daerah, terutama di luar negeri Arab, adalah tentang bahasa yang digunakan dalam khotbah Jumat. Apakah khotbah harus disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Arab? Ataukah boleh menggunakan bahasa lokal seperti bahasa Indonesia? Pertanyaan ini penting dijawab karena menyangkut sah atau tidaknya khotbah dan efektivitas penyampaian pesan kepada jemaah.

Syekh Ibnu Bāz rahimahullah pernah mendapatkan surat yang berisi permasalahan tentang hukum khotbah Jumat dengan selain bahasa Arab, dimana permasalahan ini menimbulkan perselisihan di masyarakat penanya. Kemudian, beliau menjawab:

Perbedaan pendapat dalam permasalahan ini

“Para ulama berselisih pendapat dalam hal kebolehan menerjemahkan khotbah mimbar pada hari Jumat dan dua hari raya ke dalam bahasa non-Arab. Sebagian ulama melarangnya, karena ingin menjaga eksistensi bahasa Arab dan mengikuti cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menyampaikan khotbah dengan bahasa Arab, baik di negeri Arab maupun non-Arab, serta untuk mendorong kaum muslimin agar mempelajari dan memperhatikan bahasa Arab.

Namun, sebagian ulama lain membolehkan khotbah dengan bahasa non-Arab jika para pendengar atau mayoritas mereka tidak memahami bahasa Arab. Alasannya, tujuan disyariatkannya khotbah adalah untuk menjelaskan hukum-hukum Allah, menjauhkan dari maksiat, serta membimbing kepada akhlak mulia dan memperingatkan dari yang sebaliknya. Maka, memperhatikan makna dan tujuan lebih utama dibanding sekadar mempertahankan lafaz dan bentuk luar, khususnya jika para pendengar tidak perhatian dan tidak terpengaruh dengan khotbah bahasa Arab karena tidak memahami isinya.”

Pendapat yang lebih tepat

Setelah menyebutkan silang pendapat para ulama dalam permasalah ini, beliau melanjutkan dengan menyebutkan pendapat yang paling tepat dan layak diikuti,

فالمقصود حينئذ لم يحصل والمطلوب بالبقاء على اللغة العربية لم يتحقق، وبذلك يظهر للمتأمل أن القول بجواز ترجمة الخطب باللغات السائدة بين المخاطبين الذين يعقلون بها الكلام ويفهمون بها المراد أولى وأحق بالاتباع، ولا سيما إذا كان عدم الترجمة يفضي إلى النزاع والخصام، فلا شك أن الترجمة والحالة هذه متعينة لحصول المصلحة بها وزوال المفسدة، وإذا كان في المخاطبين من يعرف اللغة العربية فالمشروع للخطيب أن يجمع بين اللغتين فيخطب باللغة العربية ويترجمها باللغة الأخرى التي يفهمها الآخرون، وبذلك يجمع بين المصلحتين وتنتفي المضرة كلها وينقطع النزاع بين المخاطبين

“Dengan demikian, tujuan khotbah tidak tercapai dan upaya menjaga bahasa Arab pun tidak berhasil. Maka, pendapat yang membolehkan khotbah dengan bahasa yang umum dipahami para hadirin adalah lebih tepat dan lebih layak diikuti, terlebih jika tidak diterjemahkannya khotbah malah menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Dalam kondisi seperti ini, menerjemahkan khotbah adalah suatu keharusan demi kemaslahatan dan untuk menolak kemudaratan.

Dan jika di antara para hadirin ada yang memahami bahasa Arab, maka disyariatkan (disunahkan -pent) bagi khatib untuk menggabungkan dua bahasa: menyampaikan khotbah dalam bahasa Arab, lalu menerjemahkannya ke bahasa yang dipahami hadirin. Dengan cara ini, dua maslahat dapat diraih sekaligus, kerusakan dapat dihindari, dan perselisihan dapat dihentikan.”

Kemudian, beliau rahimahullah menyebutkan dalil-dalil atas hal tersebut. [1]

Ringkasnya, terkait dengan hukum permasalahan ini:

1) Jika tujuan khotbah tidak tercapai dan bahasa Arab tidak dipahami, maka boleh menggunakan bahasa lokal.

2) Jika tanpa terjemahan justru menimbulkan perselisihan, maka menerjemahkan khotbah menjadi keharusan.

3) Jika ada yang memahami bahasa Arab, disunahkan menggabungkan bahasa Arab dan bahasa lokal untuk meraih dua maslahat sekaligus. Wallaahu a’lam. [2]

Kalau tertinggal khotbah Jumat, apakah salat Jumat sah?

Salat Jumat tetap sah jika seseorang mendapati imam dalam rukuk dan sujud pada rakaat kedua, meskipun ia telah tertinggal khotbah dan rakaat pertama. Jika ia masuk ke dalam salat dan tidak mendapatkan rukuk rakaat kedua, maka ia tidak dianggap mendapatkan salat Jumat, dan harus menyempurnakannya sebagai salat Zuhur. Ini merupakan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Di antara dalilnya adalah hadis,

إذا جئتم ونحن سجود فاسجدوا ولا تَعُدُّوهَا شيئًا، ومن أدرك الركعة فقد أدرك الصلاة

“Jika kalian datang sementara kami sedang sujud, maka sujudlah, tetapi jangan dihitung (rakaat tersebut sebagai satu rakaat). Dan barang siapa yang mendapatkan rakaat, maka ia telah mendapatkan salat.” (HR. Abu Dawud, Kitab ash-Shalāh, Bab Orang yang Mendapati Imam Sedang Sujud, no. 893, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh al-Albani). [3]

Apakah khatib harus sekaligus menjadi imam?

Sunahnya adalah, orang yang menyampaikan khotbah juga yang menjadi imam salat Jumat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memimpin keduanya, begitu pula para khalifah setelah beliau. [4]

Namun demikian, itu bukanlah keharusan. Syekh Bin Baz rahimahullah menjelaskan,

لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة
المسألة مسألة خلافية بين أهل العلم، والصواب: أنه لا يشترط أن يكون الخطيب هو الإمام في الصلاة؛ لأن الخطبة منفصلة ليس لها اتصال بالصلاة، فالصلاة منفصلة والخطبة منفصلة، فالأفضل والسنة أن يتولى الخطابة من يتولى الإمامة فيكون هو الإمام وهو الخطيب يوم الجمعة

“Tidak disyaratkan bahwa khatib harus menjadi imam salat Jumat. Masalah ini adalah perkara khilaf di antara para ulama. Dan pendapat yang benar: tidak disyaratkan bahwa khatib harus juga menjadi imam dalam salat, karena khotbah dan salat adalah dua ibadah yang terpisah. Oleh karena itu, yang lebih utama dan sesuai sunah adalah bila khatib sekaligus menjadi imam, namun tidak wajib.” [5]

Bidah-bidah seputar khotbah Jumat

Syekh asy-Syuraym rahimahullah dalam kitabnya asy-Syāmil menyebutkan beberapa hal yang dinilai oleh para ulama sebagai bidah dalam pelaksanaan khotbah Jumat. Di antaranya:

Khatib memukul anak tangga mimbar dengan pedang atau tongkat saat naik ke mimbar

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa perbuatan ini bāṭil (tidak ada asalnya dalam syariat) dan termasuk bidah yang buruk. [6] Komite Fatwa Kerajaan Saudi juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan hal ini sebagai bidah. [7]

Menoleh ke kanan dan kiri dalam khotbah

Menoleh ke kanan dan kiri dalam khotbah, baik saat membaca selawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada bagian lain khotbah, dinyatakan sebagai bid‘ah munkarah (bidah yang tercela) oleh para ulama seperti penulis al-Hāwī, An-Nawawi, Ibnu Rajab, dan Ibnu ‘Ābidīn rahimahumullah. Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah juga berkata,

الالتفات في الخطبة لا يُشرع

“Menoleh dalam khotbah tidak disyariatkan.”

Khatib yang sengaja melambat atau memperlambat langkah saat naik mimbar

Hal ini dianggap sebagai bidah oleh para ulama karena disangka sebagai bagian dari sunah hanya karena dilakukan terus-menerus oleh sebagian khatib. Jamaluddin al-Qasimi rahimahullah menukil dari Abu Syamah,

ومن البدع المشعرة بأنها من السنن بعمومها وشهرتها واستدامة مبتدعيها لفعله : ما يفعله عوام الخطباء وشبه العوام من أمور نذكرها ؛ منها : تباطؤ الخطيب في الطلوع

“Di antara bidah yang disangka sunah karena sudah umum dan terus-menerus dilakukan oleh pelakunya adalah: keterlambatan khatib saat naik mimbar…” [8]

Mengangkat tangan saat berdoa dalam khotbah selain istisqa’ (minta hujan)

Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ibrahim bahwa,

رفع اليدين والقنوت في الجمعة بدعة

“Mengangkat tangan dan berdoa (qunūt) dalam khotbah Jumat adalah bidah.”

Hal ini juga ditegaskan oleh asy-Syaukani dan Syekh Bakr Abu Zaid rahimahumullah, yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam kondisi seperti ini adalah bidah.

Membaca syair dalam khotbah

Al-‘Izz bin ‘Abd as-Salām rahimahullah menyatakan bahwa menyisipkan syair dalam khotbah termasuk bidah. Pernyataan ini juga disetujui oleh Syekh Bakr Abu Zaid rahimahullah. [9]

Adab saat mendengarkan khotbah Jumat

Di antara adab penting ketika mendengarkan khotbah Jumat adalah sebagai berikut:

Mendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar mendengar

Seorang jemaah tidak cukup hanya mendengar, tetapi harus benar-benar mendengarkan dengan kesungguhan hati dan perhatian penuh. Ini termasuk bentuk penghormatan terhadap khotbah dan bagian dari ibadah.

Diam dan menghindari bicara saat khotbah berlangsung

Firman Allah Ta‘ala,

وَإِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Apabila Al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A‘rāf: 204)

Disebutkan oleh Al-Qurthubiy rahimahullah, “Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan khotbah Jumat, sebagaimana dikatakan oleh Sa‘īd bin Jubair, Mujāhid, ‘Aṭā’, ‘Amr bin Dīnār, dan Zayd bin Aslam.” [10]

Tidak bermain-main atau melakukan gerakan yang tidak perlu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من مسَّ الحصى فقد لغا

“Barang siapa yang menyentuh kerikil, maka sungguh ia telah melakukan perbuatan sia-sia (laghw).” (HR. Muslim no. 857)

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Hadis ini menunjukkan larangan menyentuh kerikil atau hal-hal lain yang termasuk bentuk bermain-main saat khotbah. Ini menunjukkan bahwa hati dan anggota tubuh harus fokus penuh kepada khotbah. ‘Laghw’ di sini maksudnya adalah perbuatan batil yang tercela dan tertolak.” [11]

Tidak menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbah

Termasuk dalam bagian dari kewajiban mendengarkan khotbah, yaitu tidak diperbolehkan menggalang dana atau meminta sumbangan saat khotbah. Dalam al-Fiqh al-Muyassar, Syekh Abdullah Muhammad Ath-Thayyar menyebutkan,

هذا الفعل لا يجوز؛ لأن فيه إشغالًا للحاضرين عن سماع وتدبر الخطبة؛ وذلك لأن الإنصاف واجب على الجميع، فالواجب منع مثل ذلك مهما كانت المبررات لجمع المال

“Meminta sumbangan saat khotbah tidak diperbolehkan, karena mengganggu jemaah dalam mendengarkan dan merenungi khotbah. Padahal, mendengarkan khotbah adalah kewajiban bagi seluruh jemaah. Maka wajib mencegah tindakan seperti itu, meskipun tujuan penggalangan dana tersebut dianggap penting.” [12]

Apakah mengaminkan doa khatib dengan suara keras dan mengangkat tangan?

Disunahkan bagi makmum mengaminkan doa khatib dengan suara pelan dan tidak disyariatkan mengangkat tangan.

Syekh Ibn Bāz pernah ditanya, “Apa hukum mengangkat tangan bagi para jemaah ketika mengaminkan doa imam dalam khotbah Jumat? Dan apa hukumnya mengucapkan “āmīn” dengan suara keras?”

Beliau rahimahullaah menjawab, Tidak disyariatkan mengangkat tangan dalam khotbah Jumat, baik bagi imam maupun makmum, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, begitu pula para khalifah setelah beliau.

Namun, jika khotbah Jumat berisi permohonan istisqa (minta hujan), maka disyariatkan bagi imam dan jemaah untuk mengangkat tangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beristisqa dalam khotbah Jumat, beliau mengangkat tangannya, dan para sahabat pun ikut mengangkat tangan mereka. Allah berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian.” (QS. al-Ahzāb: 21)

Adapun mengaminkan doa imam oleh jemaah tanpa suara keras, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Wallāhul muwaffiq.’ [13]

Syekh Manshur Al-Buhuti rahimahullah mengatakan:

وله الصَّلاةُ على النبي صلى الله عليه وسلم إذا سَمِعها ‌مِن ‌الخطيبِ، ‌وتُسنُّ سِرًّا؛ كدعاءٍ وتأمينٍ عليه

“Boleh baginya (jemaah) untuk berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengarnya dari khatib, dan disunahkan melakukannya secara pelan (sirr), sebagaimana doa dan mengaminkan doa.” [14]

Demikian beberapa hukum dan adab penting seputar khotbah Jumat yang sering menjadi pertanyaan di tengah masyarakat. Dari penggunaan bahasa khotbah, sah tidaknya salat bagi yang terlambat, hingga adab dan larangan saat khotbah disampaikan —semuanya menunjukkan betapa syariat Islam sangat memperhatikan kesempurnaan ibadah salat Jumat. Semoga Allah Ta‘ala memberi kita taufik untuk senantiasa menghadirinya dengan adab yang benar dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas.

[Selesai]

Kembali ke bagian 1

***

Rumdin PPIA Sragen, 24 Zulkaidah 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi Utama

  • Asy-Syuraim, Saud Ibrahim Muhammad. Asy-Syamil fi Fiqh al-Khatib wa al-Khutbah. Cetakan Ketiga. Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, 1429. 464 hlm. (Seri Penerbitan Maktabah Dar al-Minhaj, No. 78).
  • Tim Ulama Kuwait. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Mesir: Dar Shofwah, cetakan ke-1, 1421 (Maktabah Syamilah).

 

Catatan kaki:

[1] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibnu Bāz, 12: 371.

[2] Lihat al-Fiqh al-Muyassar, 1: 429 dan 9: 64; serta Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 8: 254, fatwa no. 1495

[3] Disarikan dari al-Fiqh al-Muyassar, 1: 425.

[4] asy-Syamil, hal. 366-369.

[5] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 12: 381. Lihat juga: https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/16562/

[6] Lihat al-Majmū‘, 4: 359.

[7] Fatāwā al-Lajnah ad-Dā’imah, 8: 256.

[8] Lihat al-Bā‘its ‘alā Inkār al-Bida‘ wa al-Ḥawādits, hal. 263 dan Iṣlāḥ al-Masājid min al-Bida‘ wa al-‘Awā’id, hal. 48.

[9] Syekh asy-Syuraym membahas tema ini dalam kitabnya asy-Syāmil pada bab “Sebagian Hal yang Dikatakan Makruh atau Termasuk Bid‘ah dalam Khotbah-Khotbah”, dan beliau menyebutkan sekitar 40 masalah dari halaman 426–435.

[10] Tafsir al-Qurṭubī, 7: 353.

[11] Syarḥ an-Nawawī ‘alā Muslim, 6: 147.

[12] al-Fiqh al-Muyassar, 5: 84.

[13] Majmū‘ Fatāwā wa Maqālāt Mutanawwi‘ah karya Syaikh Ibn Bāz, 30: 249.

[14] Ar-Raudh al-Murbi‘ bi Syarḥ Zād al-Mustaqni‘, 1: 414; cet. Rukā’iz.


Artikel asli: https://muslim.or.id/105756-fikih-khotbah-jumat-bag-2.html